Lesson Learned from the last Great Depression of 1930’s

Krisis Ekonomi Global tahun 2008 mulai menghantui kita semua. Hingga saat ini masih belum ada pihak yang berani menyatakan, sedalam apa krisis ini, berapa lama kita akan berada dalam krisis, apa penyebabnya, dan bagaimana memulihkan ekonomi dunia kembali ke sebelum 2008.

Hal menarik yang lazim dilakukan orang berakal adalah mencari penjelasan dari kejadian yang serupa/mirip. Nah, kejadian yang mungkin mirip dengan krisis Ekonomi 2008 ini adalah The Great Depression of 1930’s.

Depresi global tahun 1930 ditenggarai dimulai dengan runtuhnya Wall Street tahun 1929 dalam kejadian yang dikenal dengan Black Thursday di Amerika Serikat. Setelah itu kejadian buruk datang bertubi-tubi, mulai dari bank rush, tutupnya berbagai perusahaan, ratusan bank dibangkrutkan, pengangguran meningkat tajam, hingga kontraksi dalam ekonomi. Berbagai teori telah dikemukakan untuk menjawab apa yang menjadi sebab dari depresi ekonomi global ini, mulai dari kebijakan pengetatan likuiditas yang dilakukan berbagai bank, kesalahan yang dilakukan the Fed dalam menjaga jumlahuang yang beredar, keputusan Bank Sentral Inggris untuk kembali ke Standar Emas sebelum Perang Dunia I, dan banyak hal lainnya.

Namun ada satu penjelasan menarik yang diberikan oleh Marriner S. Eccles, pemimpin Federal Reserve AS di era Franklin D Roosevelt dan selanjutnya (1934-1948). Ia menuliskan secara cukup mendetail apa yang ia yakini sebagai penyebab Depresi ini dalam Memoirnya , Beckoning Frontiers (New York, Alfred A. Knopf, 1951)[24]:

Produksi massal harus dibarengi dengan konsumsi massal, yang kemudian akan berdampak pada pendistribusian kekayaan –yakni kekayaan yang dihasilkan dari produksi, dan bukannya kekayaan eksisting—untuk menyediakan masyarakat kekuatan untuk membeli (purchasing power) barang dan jasa yang bisa disediakan oleh permesinan ekonomi bangsa yang bersangkutan (dicetak miring sebagaimana aslinya)

Alih-alih melakukan pendistribusian sebagaimana tersebut di atas, sebuah pompa besar di tahun 1929-1930 menyedot kekayaan tersebut ke tangan segelintir orang. Hal ini menyebabkan capital menumpuk di tangan mereka. Namun dengan menarik daya beli dari masyarakat kebanyakan, para penumpuk kekayaan ini malah mengurangi kekuatan untuk membeli produk yang mereka buat sendiri sehingga mengurangi nilai investasi di pabrik-pabrik baru. Sebagai akibatnya, sebagaimana di permainan Poker, di mana chip semakin terkumpul di segelintir pemain, pemain lain hanya akan bisa ikut bermain dengan cara meminjam chip dari segelintir pemain itu. Ketika peminjaman ini berakhir, maka permainan akan berakhir.

Inilah yang kita alami di tahun 1920an. Kita berhasil mempertahankan tingkat pengangguran di level rendah dengan melakukan ekspansi hutang di luar system perbankan. Hutang ini dibiayai oleh dana yang disimpan pemodal besar dan para high-net-worth individual lainnya yang hanya dikenai pajak yang rendah. Hutang non-bank ini meningkat 50%. Dengan tingkat bungan yang tinggi, hutang ini mengambil bentuk kredit perumahan, pembangunan hotel dan perkantoran, cicilan konsumen, pinjaman broker, dan hutang luar negeri. Stimulus untuk konsumsi dari hutang semacam ini tidak sustainable dan tidak bisa diandalkan untuk menjaga tingkat pengangguran jangka panjang yang berkelanjutan. Jika saja distribusi kekayaan ini berlangsung lebih baik, dengan kata lain jika saja para pemodal ini tidak terlalu agresif menabungnya dan lapisan bawah diberi penghasilan yang lebih baik, maka kita akan memiliki ekonomi yang jauh lebih stabil. Jika saja enam miliar Dolar, misalnya, yang ditanamkan ke pasar saham untuk spekulasi ditanamkan ke public dalam bentuk gaji yang lebih tinggi atau harga yang lebih rendah, maka keruntuhan ekonomi 1929 bisa dihindari.

Akhirnya kita masuk ke masa ketika tidak ada lagi chip poker yang bisa kita pinjamkan. Debitur kemudian akan dipaksa untuk mengurangi konsumsinya untuk menciptakan ruang yang diperlukan untuk mengurangi hutang mereka. Tentu saja hal ini akan berdampak pada penurunan permintaan akan segala jenis barang sehingga muncul kesan over-produksi. Sebenarnya yang terjadi adalah penurunan konsumsi bila kita lihat secara riil. Hal ini selanjutnya akan berdampak pada penurunan harga dan penyerapan tenaga kerja.

Pengangguran selanjutnya menekan konsumsi barang, yang berdampak kembali pada bertambahnya pengangguran, kemudian berdampak pada siklus penurunan harga. Pendapatan mulai menghilang, menyebabkan meningkatnya kebutuhan dalam skala ekonomi yang berdampak pada penurunan gaji, penguranan jam kerja, dan sejenisnya. Dengan demikian siklus penurunan ini berlanjut hingga akhirnya sepertiga populasi kehilangan pekerjaan mereka, dengan pendapatan nasional berkurang hingga lima puluh persen yang berdampak pada penurunan kemampuan membayar kembali hutang secara riil.

Inilah kemudian, dalam pandangan saya apa yang menjadi penyebab depresi.

Leave a comment